Selasa, 26 Februari 2008

Modal CINTA Untuk MENIKAH

Dengan menangis tersedu-sedu sesekali berteriak , ibu berlinangan air mata dengan berselonjoran kaki di atas dipan seperti anak kecil sedang merengek meminta sesuatu. Ibu berguman “Apa yang salah dengan diri-ku”. Seolah-olah ia menyesali terhadap apa yang dialaminya. Rasanya aku sudah memberikan semua hal-hal yang terbaik pada anak-anakku, tetapi kenapaaa anak-ku berani memusuhi saat sudah dewasa.


Jangaaan lupa Nak! Jangaan lupa Nak, sekali lagi!.. Celotehnya di dalam kegalauan yang menyelimuti hatinya…….aku yang melahirkan-mu, ..aku yang berjuang melawan maut yang senantiasa menjemput, ..aku yang menyusui-mu, ..aku yang mengajari-mu berjalan, ..aku yang mengajari-mu sopan-santun sehingga menjadi gadis cantik dan dewasa seperti sekarang ini. Jangan lupa…Nak! Gumannya seolah ingin membeberkan….peristiwa-demi-peristiwa yang sudah dilakukannya.

Nerli… Nerli …. Nerli ….ho…ho…ho, …hi…hi…hi.., kenapa kamu seperti itu, bikin…hati ibu tidak tenang. Teriak ibu..teriakan ibu semakin menjadi-jadi, tetapi dengan bunyi hujan lebat di luar rumah, suara ibu terdengar pelan-pelan, Ibu harus mengeluh pada siapa ..Nak?….pada siapa Nak? Sembari bertanya pada diri sendiri!.....Ayah-mu sudah lama meninggal!...Nenek dan kakekmu juga sudah almarhum!.. Suara ibu semakin serak, semakin parau menunjukkan beliau sudah mulai lelah.

Tengah malam, Dira dan suami terbangun dari lelap tidurnya. Mereka mendengar beberapa kali ibunya memanggil-manggil nama Adiknya yang baru setahun ini menikah. Tak cuma sekali teriakan ibu kedengaran tetapi beberapa kali ibu memanggil nama adiknya.

Pelan-pelan Dira dan suaminya, beranjak dari kamar menyelinap ke ruang tengah mencari dari mana suara ibu berasal. Dilihatnya ibu tergolek di atas dipan, sesekali bangkit kemudian duduk lagi. Ditengah kedinginan malam, membuat badan ibu yang lusuh kelihatan menggigil. Ibu tak bisa membebaskan diri dari rasa takutnya. Kemudian suami dan istri berdua tersebut berbisik “Ayo kita temani Ibu dan kita kuatkan hati Ibu” kata suaminya dengan tenang.

“Baru pertama kali ini aku mengalami hal seperti ini” kata suami Dira kepada istrinya. Biasanya aku hanya dapat menenangkan anak dan istri jika merengek meminta dibelikan barang yang baru. Tetapi kali ini adalah Mertua-ku yang sekaligus sudah aku anggap seperti Ibu-ku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa menenangkannya? Guman-ku dalam hati.

Tak seperti biasanya, Dira yang jika malam, terbangun untuk menyiapkan minum susu botol untuk anaknya yang masih balita. Kali ini dia menyiapkan teh manis hangat untuk menenangkan hati ibu-nya yang sedang dirundung kegalauan. Ketakutan seorang ibu terhadap anak gadisnya yang baru setahun menikah.

Begini …. Nak, ibu mulai membuka percakapan untuk mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada di dalam relung hati yang paling kecil. Ibu mulai bercerita “Aku mempunyai 6 orang anak” semua anak ibu dididik dengan cara yang sama dan tidak pernah dibeda-bedakan. Tetapi walapun cara didik sama ternyata hasil tidaklah sama. Ada yang menjadi anak penurut, ada anak yang pintar, ada anak yang sopan, ada anak yang tidak pintar, semuanya saya iklas. Tetapi satu adikmu inilah yang melawan ibu. Tidakkah dia disebut anak durhaka? “Astagafirullah” kata Ibu menarik ucapanya.

Beliau menceritakan peristiwa yang dialaminya dari masa Si Nerli kecil hingga ia dewasa dan menetang pada ibunya dalam memilih suami yang menikahi. Begini Nak “Nikah itu bukan hanya hubungan antara dua orang saja” kata ibu memulai cerita. Lalu aku tertunduk diam hanya mendengarkan apa yang ibu bicarakan.

Sambung cerita ibu bak seorang dosen yang sedang menceramahi mahasiswa “Nikah itu menyatukan dua orang anak manusia, tetapi jangan lupa dua orang manusia itu mempunyai keluarga atau mempunyai keluarga besar, jadi perkawinan ini menyatukan dua keluarga besar juga”. Tetapi Nak! “Jangan kamu mempunyai pikiran yang negatif dulu?” sergah Ibu. Ibu tidak ingin menjodohkan anak-anak dengan pilihan ibu, tetapi ada rambu-rambu yang harus kalian pahami. “Jelas khan!..” kata Ibu. Kami berdua hanya menganggukan kepala saja.

Camkan ya Nak….carilah jodohmu yang kamu cintai dengan calon yang sesama iman, mempunyai pekerjaan, dari keluarga baik-baik, bertanggung jawab. Hindari calon suami yang mengagung-agungkan cinta seolah-olah dengan cinta sudah kenyang. Ingat.. yah…Nak! hidup penuh cinta 99% itu dirasakan hanya pada awal nikah sampai mempunyai anak, jadi jika sudah punya anak cinta itu dibagi-bagi dengan anak. Jika tinggal 60% cinta itu sudah bagus.

Sebelum pernikahan berlangsung sebenarnya keluarga besar kita sudah tidak menyetujuinya. Dengan berbagai alasan antara lain 1.) paham agamanya berbeda walaupun sesama Islam tetapi dia termasuk islam yang eksklusif jadi pribadinya agak tertutup. 2) faktor pekerjaan selama ini pekerjaannya belum tetap. 3) faktor keluarga besar diantara dua pihak baik pihak keluarga perempuan dan pihak laki-laki memang sudah tidak cocok.

“Lantas apa yang menyebabkan adik kita tetap bersikeras”? Sergah Dira!

Sebenarnya alasan-alasan adikmu itu selama ini hanya berhubungan dengan emosi belaka, tetapi tidak mempertimbangkan alasan logika-nya antara lain 1) Sudah saling cinta. 2. Si Calon dapat memberikan bimbingan sehingga dia merasa terobati dan tenang. Adikmu rela dinikahi oleh pria pilihannya, asal ibu memberikan restu saja. “Cukup restu saja” kata Nerli berulang-ulang yang diperagakan lagi oleh ibu. Nanti Nerli tidak akan merepotkan ibu lagi.

Ibu sudah banyak memanjatkan doa agar adikmu diberikan jodoh yang nantinya akan memberikan ketentraman berdua. Sebenarnya Ibu berharap jika mungkin boleh meminta kepada Tuhan…tolong, tolong jauhkan anak saya. Tetapi apa mau dikata kemauan keras adikmu itu sudah tidak bisa ditawar lagi. Dia sudah sering tinggal di tempat laki-laki itu. Dia tidak perduli apa kata keluarga…itu mencoreng nama keluarga kita.

Dengan kondisi sangat sederhana maka pernikahan itu dilangsungkan, tanpa adanya acara-acara seremonial. Pihak mempelai kelihatan senyum bahagia, tetapi dipihak keluarga dengan persaaan yang campur aduk mencoba untuk mengikuti prosesi yang dijalankan.

Hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan berjalan diarunginya bahtera rumah tangga baru, ternyata sudah menginjak satu tahun usia perkawinan. Pada awal memang indah tetapi lama-lama menjadi gundah. Komitmen awal yang tidak akan merepotkan ibu lagi ternyata tidak bisa dipegang. Bagaimana mungkin seorang ibu muda yang sedang hamil tidak terurus sehingga mengalami keguguran, dari sini sudah mulai banyak masalah yang ternyata tidak bisa dihadapinya berdua saja.

Suaminya terkena musibah diberhentikan dari tempat kerja yang hanya dikontrak tiga bulan, susah mencari pekerjaan lain, sementara pihak keluarga sulit untuk menerima kehadirannya. Mau datang ke rumah mertua merasa segan, takut, malu dan perasaan lain yang berkecamuk, seperti memelas, jika tidak dilakukan mau ke rumah siapa lagi. Dalam hati Nerli berkata “jangan-jangan ini ujian bagi kita yang tidak menurut pada Ibu yang tercinta”. Ke esokan hari Nerli dan suami berkunjung ke rumah ibu dengan bersimpuh meminta maaf apa yang sudah dia lakukan.

Kenapa Ibu menangis?

“Nak Dira dan suami” kata ibu menyambung lagi. Apa yang ibu khawatirkan ternyata sekarang menjadi kenyataan. Pelajaran untuk adik-adik yang lain jangan terlalu agungkan cinta itu, jika kau memilih suami yang tampan seperti Pangeran maka kau akan menyesal jika Pangeranmu tidak tampan lagi. Ingat Nak “Rambu-rambu” yang ibu utarakan tadi.

Dengan kondisi ibu yang sudah stabil suami Dira mencoba untuk berkata ”Jadi ibu khawatir dengan masa depan anak dan menantu ibu”. Oh Iya, “tidak ada seorangpun ibu yang tidak ingin anaknya kekurangan dan tidak bahagia” Ibu menyahut. “Ibu kebahagian itu adalah milik semua orang, bukan monopoli ibu saja” kata suami Dira. Barangkali Nerli dan suami sudah cukup bahagia dengan apa yang ia dapatkan sekarang.

“Keinginan ibu melihat Nerli dan suami menjadi keluarga serba cukup dan penuh kebahagian juga tidak salah” kata suami Dira. Yang salah dari Ibu adalah perasaan terlalu khawatir dan ketakutan yang berlebihan. Ibu jangan khawatir dengan anak-anak dan menantu, mereka sudah banyak mengalami asam manisnya kehidupan, banyak kesulitan tetapi mereka sampai saat ini juga masih hidup. Jadi masa depan mereka semua adalah ditangan mereka sendiri, merekalah yang akan menentukan. “Ingat cucu ibu sebentar lagi akan dilahirkan, mudah-mudahan menambah kebahagiaan” kata penutup dari suami Dira.
(cerita ini fakta, nama aku samarkan. mohon maaf sebesar-besarnya jika yang bersangkutan membaca artikel ini)

Cerpen lainnya: Perampokan bis di pagi Buta

4 komentar:

Anonim mengatakan...

mbak... true story kah? hmmm, belajar memahami dalamnya hati... sampaikapan juga jadi teka teki ya...

yaya mengatakan...

Cinta itu bukan dikatakan saat kedua pasangan masih sehat dan cantik/ganteng..

tapi ketika sudah jadi nenek kakek mereka masih saling berpegangan tangan dan menatap dengan penuh kasih..

cewekndeso mengatakan...

tulisane dawa banget tp ya ya sambil tk pelototin heheheh

Mama Anne dan Ghani mengatakan...

Cinta lebih awet kalo melihat ke reality
Tidak selalu hrs mengharap romatisme , keindahan dan manis cinta
Tp siap hidup dengan realitanya